Sabtu, 08 Januari 2011

Hipertensi pada Kehamilan

Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan  dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen  kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu.
Untuk menurunkan hipertensi kronis maka pilihan obat antihipertensi ditentukan berdasarkan keamanan bagi janin. Terapi sebaiknya dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter karena hipertensi yang tidak diobati mempunyai risiko tinggi.
Ibu hamil yang mengalami hipertensi seharusnya diawasi ketat dan diingatkan agar tidak banyak beraktivitas, tidak minum alkohol atau merokok, dan membatasi asupan garam/natrium sampai 100 mmol/hari. Pengurangan berat badan tidak perlu dilakukan walaupun pada ibu hamil yang gemuk, karena dapat menurunkan berat janin.
Jika terjadi komplikasi, ibu dengan hipertensi kronis memiliki peningkatan resiko untuk preeklampsia superimposed dan abrupsio plasenta. Abrupsio plasenta adalah pelepasan plasenta yang berada dalam posisi normal pada dinding rahim sebelum waktunya, yang terjadi saat kehamilan bukan saat persalinan. Keadaan bayi yang lahir dari ibu dengan hipertensi berat umumnya sangat buruk, karena risiko meninggal sangat besar.
Ibu yang mengalami hipertensi, dapat menyusui dengan aman namun sebaiknya tetap berdiskusi dengan dokter tentang pilihan menyusui, karena sebagian besar obat antihipertensi disekresikan ke air susu ibu dengan konsentrasi rendah. Jika ibu hipertensi tahap I (tekanan darah diastolik <100 mmHg), obat antihipertensi dapat dihentikan untuk beberapa bulan dengan tetap memantau tekanan darah.
Hipertensi pada kehamilan dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:
1.    Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
2.    Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
3.    Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
4.    Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
Preeklamsia terjadi pada kurang lebih 5% dari seluruh kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama, dan 20-25% pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi kronik sebelum hamil. Faktor risiko ibu untuk terjadinya preeklamsia antara lain meliputi kehamilan pertama, pasangan/ paternitas baru, usia lebih muda dari 18 tahun atau lebih tua dari 35 tahun, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga dengan preeklamsia, obesitas/ kegemukan, dan selang waktu jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun.
Dasar penyebab preeklamsia diduga adalah gangguan pada fungsi endotel pembuluh darah (sel pelapis bagian dalam pembuluh darah) yang menimbulkan vasospasme pembuluh darah (kontraksi otot pembuluh darah yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah mengecil/ menciut). Perubahan respons imun ibu terhadap janin/ jaringan plasenta (ari-ari) diduga juga berperan pada terjadinya preeklamsia. Kerusakan endotel tidak hanya menimbulkan mikrotrombosis difus plasenta (sumbatan pembuluh darah plasenta) yang menyebabkan plasenta berkembang abnormal atau rusak, tapi juga menimbulkan gangguan fungsi berbagai organ tubuh dan kebocoran pembuluh darah kapiler yang bermanifestasi pada ibu dengan bertambahnya berat badan ibu secara cepat, bengkak (perburukan mendadak bengkak pada kedua tungkai, bengkak pada tangan dan wajah), edema paru, dan/ atau hemokonsentrasi (kadar hemoglobin/ Hb lebih dari 13 g/dL). Plasenta yang tidak normal akibat mikrotrombosis difus, akan menurunkan aliran darah dari rahim ke plasenta. Hal tersebut akan memengaruhi kehidupan janin dan bermanifestasi secara klinis dalam bentuk pertumbuhan janin terhambat di dalam kandungan/ rahim dan oligohidramnion (cairan ketuban sedikit). 
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di dalam tulisan di atas, pemeriksaan kehamilan secara berkala sangat penting pada semua ibu hamil untuk mendeteksi adanya hipertensi pada kehamilan sehingga dapat diberikan tatalaksana yang tepat. Lebih lanjut, perempuan yang menderita hipertensi pada kehamilan memerlukan tindak lanjut medis atau dimonitor kondisi medisnya setelah melahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar